gravatar

Seni Sastra dan Teater di Tengah Heterogenitas Masyarakat Jembrana

KABUPATEN Jembrana sebagai kabupaten termuda dan memiliki sejarah kelahiran yang dipenuhi semangat heterogenitas kental di Bali, suka atau tidak, dalam perjalanannya dapat dikatakan telah “terasing” dari kebudayaan induk Bali sendiri. Tetapi sejarah yang membentuk Kabupaten Jembrana yang hingga kini bahkan masih sering disebut sebagai “daerah buangan”, akhirnya juga melahirkan semacam pemberontakan kreatif dari komunitas warganya terhadap kebudayaan induk Bali, terutama dari sisi produk budaya yang bernama kesenian.

Beberapa contoh yang paling kasat mata adalah lahirnya produk-produk kesenian rakyat (baca: tradisional) yang sangat berbeda dengan yang ada di Bali pada umumnya. Warga masyarakat Jembrana telah melahirkan kesenian Jegog, Kendang Mebarung dan atraksi Makepung yang tidak ditemukan di kabupaten lain di Bali. Dan di sisi lain, kesenian tradisional Bali yang bernama Gong Kebyar, Legong, Arja, Gambuh, Kecak, Angklung serta masih banyak lagi, di Jembrana kurang dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya seperti di Bali Timur, Bali Tengah dan Bali Selatan. Demikian setidaknya anggapan umum yang ada, terutama dari komunitas pelaku kesenian tradisional di Bali.

Sejarah yang membentuk komunitas masyarakat Jembrana, juga menjadi ruang terbuka bagi kehadiran dan berkembangnya “seni urban” di Jembrana. Ini dapat dipahami karena “warga buangan” yang datang dan tinggal di Jembrana adalah dari berbagai macam latar belakang budaya, semisal Jawa, Madura, Melayu-Bugis, Cina dan Bali sendiri. Interaksi adat, tradisi dan budaya dari kaum urban yang hampir seluruhnya merupakan warga jelata pada jamannya itulah yang kemudian membentuk “bakat komunal” pada masyarakat Jembrana secara umum untuk lebih suka membuat sekaligus mengembangkan semacam “tradisi baru” yang berbeda dengan masyarakat Bali lainnya.

Produk-produk kesenian seperti puisi, prosa dan drama/teater berbahasa Indonesia yang dari kaca mata tradisi merupakan “kesenian modern”, juga mendapat tempat lebih awal di Jembrana ketimbang daerah lain di Bali. Istilah “mendapat tempat” di sini, konteksnya adalah bahwa kesenian tersebut (puisi, prosa dan teater modern) menemukan dialektika dan orang-orang (para pelaku dan penikmat) yang lebih “ramah” daripada daerah lain di Bali. Artinya, kesenian modern tersebut, di Jembrana tidak hanya menjadi semacam acara selingan di antara kesenian tradisional yang ada. Kesenian modern dan kesenian tradisonal yang ada di Jembrana sama-sama dapat berjalan di jalannya masing-masing dengan dinamis sesuai jamannya pula.

Maka lahir dan mendapat tempatlah kemudian nama-nama seniman Bali yang bergelut pada kesenian modern, di antaranya Heman Negara (aktor dan sineas), Ikra Negara (teaterawan, pengarang dan sineas), dr. Faizal Baraas (pengarang), Putu Fajar Arcana (penyair, cerpenis, penulis naskah dan pengamat teater), Nanoq da Kansas (penyair, cerpenis, aktor, penulis naskah dan sutradara teater) dan Ibed Surgana Yuga (penyair, cerpenis dan teaterawan). Setidaknya merekalah sebagian seniman-seniman modern Bali yang telah mendapat tempat secara nasional maupun internasional. Mereka semua adalah warga Jembrana yang lahir dan tumbuh di Jembrana, yang kecuali Heman Negara (almarhum) dan Nanoq da Kansas, sekarang semuanya berkarier di luar Jembrana. Bahkan Ikra Negara kini telah menetap di Washington DC.

Masih ada sederet nama dengan karya-karya mereka yang dapat disejajarkan dengan nama-nama di atas. Di antaranya adalah DS. Putra, Isayudhie AR, AG. Pramono, I Ketut Boyke (kreator musikalisasi puisi) dan Kaplur Semara PN. Hanya saja dasa warsa terakhir ini mereka tidak lagi produktif berkarya karena profesi lain. Dan, saat ini telah lahir lagi seorang penulis muda penuh bakat (penyair, cerpenis serta pengulas), Ni Komang Saraswita Laksmi. Karya-karya Saras telah tersebar di beberapa media Bali dan nasional. Kini dia masih berstatus mahasiswi di sebuah fakultas kedokteran.

Fasilitator
Kendati di kota kecil, keberadaan para seniman serta aktifitas kesenian modern di Jembrana harus diakui telah lama menembus dunia global. Maksudnya, Jembrana telah mampu menempatkan dirinya dalam peta budaya secara nasional maupun internasional. Jika kita membuka-buka catatan peristiwa kebudayaan yang ada di Jembrana, bahkan dapat dikatakan kesenian modern lebih banyak bicara di kancah yang lebih luas, yang uniknya semua terselenggara di luar agenda-agenda resmi pemerintah.

Setelah era 60 hingga 70-an dimana muncul nama-nama seniman modern Jembrana seperti Ikra Negara, Heman Negara, Faizal Baraas, Ketut Surung, Nyoman Lila, Ketut Kenuh dan beberapa nama lainnya, era 90-an muncul nama-nama muda dengan jumlah kelompok sanggar mencapai belasan. Ini tentu jumlah yang sangat potensial untuk ukuran Kabupaten Jembrana yang notabene “masih ndeso” saat itu. Sementara itu daerah-daerah lain di luar Jembrana saat itu sedang ber-eforia dengan kesenian tradisional yang berkolaborasi dengan dunia pariwisata yang sedang booming di Bali.

Pada dekade itu, 90-an, seniman-seniman modern di Jembrana justru mencatat sejarahnya sendiri dengan berbagai kegiatan lokal tetapi berwawasan global. Yang paling fenomenal adalah kegiatan bertajuk Rajer Babat Pukat (Rembug Apresiasi Jembrana Bali Barat – Purnamaning Kapat). Kegiatan yang berisikan seni sastra, teater, seni rupa dan diskusi-diskusi kebudayaan ini berlangsung selam 10 tahun, dari tahun 1991 hingga 2000. Acara budaya yang terselenggara setiap Purnamaning Kapat (sekitar September – Oktober) ini, dimotori oleh DS. Putra, Nanoq da Kansas, Issayudhi AR, AG. Pramono, Anom Suastika, Agus Beniq Anuwar, Kaplur Semarapura dan beberapa seniman muda lainnya. Setiap tahun, puluhan hingga ratusan seniman sastra, teater dan pelukis dari seluruh Bali, Malang, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Solo, Banyuwangi, Mataram (Lombok), bahkan hingga Sulawesi dan Sumatera Barat, berkumpul di Jembrana (kota Negara), mempresentasikan dan mempertanggungjawabkan karya-karya mereka di hadapan sesama seniman maupun publik umum. Peserta tidak melulu para seniman beneran, tetapi juga melibatkan para siswa dari SD hingga SLTA. Gema acara Rajer Babat-Pukat ini bahkan hingga sekarang masih melekat dan menjadi catatan sejarah perjalanan hidup para seniman yang pernah terlibat di dalamnya. Setiap menjelang bulan Oktober, masih saja surat-surat maupun telepon datang dari berbagai kota dan daerah di luar Bali mempertanyakan kapan lagi Rajer Babat diadakan.

Tahun 2001 hingga sekarang, sebuah perkumpulan anak-anak muda yang mendedikasikan diri di bidang seni-budaya bernama Komunitas Kertas Budaya, melanjutkan agenda Rajer Babat dengan kegiatan Pekan Apresiasi Sastra dan Teater (PAST) setiap tahun. Hampir sama dengan Rajer Babat-Pukat, PAST juga melibatkan seniman-seniman dari seluruh Bali dan luar Bali.

Di samping kegiatan-kegiatan berkala seperti Rajer Babat-Pukat dan PAST, kegiatan-kegiatan kesenian modern secara temporer juga berlansung sepanjang tahun. Tahun 2002, Jembrana menjadi tempat penyelenggaraan Kongres Cerpen Indonesia II yang berskala nasional. Dari tahun 2004 hingga 2006, rata-rata ada enam kali pementasan teater modern di Negara. Grup atau kelompok-kelompok teater yang datang dan pentas berasal dari Yogyakarta, Jakarta, Singaraja dan Denpasar. “Kalau tidak dibatasi, setiap bulan ada saja grup teater dari luar luar Bali yang ingin pentas di Negara. Tetapi kami kualahan dalam hal pendanaannya. Jadi kami batasi,” ujar Nanoq da Kansas, Koordinator Komunitas Kertas Budaya dan pendiri Bali Eksperimental Teater yang selalu menjadi fasilitator pementasan.

Nanoq dan kawan-kawannya mengaku, mereka cukup repot jika ada tamu yang ingin pentas di Jembrana karena Jembrana belum memiliki gedung kesenian yang bisa memfasilitasi pementasan teater modern. “Memang, kita punya ardhacandra yang sangat besar di areal Pura Jagatnatha Negara dan Gedung Mendapa Kesari. Tetapi itu bukan tempat yang representatif untuk pementasan teater modern. Kami malah lebih bisa memanfaatkan aula-aula kecil seperti Aula Kantor Departemen Agama atau Aula BLK Negara. Hal ini sesungguhnya sangat perlu direspon dan ditindaklanjuti oleh Pemkab Jembrana,” demikian Nanoq.

Kampung Halaman Bersama
Di balik kontinyuitas kegiatan kesenian modern yang berlangsung selama ini, layak dicermati apa sesungguhnya yang menjadikan Jembrana senantiasa menjadi salah satu pilihan untuk penyelenggaraan kegiatan kesenian modern di Indonesia. Kenapa dalam sisi tertentu kota Negara seolah-olah sejajar dengan Jakarta yang memiliki Gedung Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, atau Yogyakarta yang memiliki seabrek tempat-tempat dan kampus kesenian.

Kesimpulan dari berbagai diskusi, obrolan warung kopi maupun hasil observasi serta riset yang dilakukan berbagai lembaga yang menekuni permasalahan-permasalahan sosial budaya yang pernah datang ke Jembrana, menyebutkan Jembrana dengan kota Negara adalah salah satu wilayah dengan karakter humanisme alamiah yang masih murni. Bahwa Jembrana melalui sejarah panjangnya telah menjadi semacam “Indonesia Kecil” di Bali, dalam artian sebagai sebuah bangunan budaya yang masih mampu memberikan ruang bagi universalitas atau keberagaman yang ada di Indonesia dan dunia secara iklas. “Seniman-seniman non-Bali senang datang ke Jembrana karena di sini mereka menemukan kebebasan kreatif tanpa direcoki oleh sentimen-sentimen adat, tradisi, agama, ras, golongan, politik maupun industri. Sejauh ini, Jembrana adalah wilayah universal yang sungguh masih bisa mengedepankan semangat humanisme secara iklas. Dalam situasi kebangsaan yang serba krisis saat ini, Jembrana dengan para seniman dan masyarakatnya tampil sebagai “kampung halaman bersama” bagi keberagaman yang ada,” demikian Agung Setiaji Arya Dipayana, seorang sutradara teater dari Jakarta.