gravatar

Sapu

ORANG TUA itu dengan memelas memandang saya. Matanya yang cekung mengingatkan saya pada sebuah sumur di tengah-tengah bukit yang tandus. Sebuah bukit yang mengering dengan rekahan-rekahan tanah menganga, membentuk garis berliku-liku dan keras. Nafasnya mengingatkan saya pada lenguh kerbau yang sedang menghela gerobak dengan muatan bertumpuk. Kerbau ringkih, kurus dan tertatih karena tidak ada pilihan lain kecuali menghela saja beban itu.

Dua potong siku yang keluar dari lengan bajunya yang kumal dan berjamur, tertekuk dan bertelekan pada bibir meja, memberi sebuah bayangan pada berbagai pekerjaan yang menuntut penyelesaian bertahun-tahun, mengingatkan saya pada otot-otot meregang dan perih terbakar panas dan hujan. Jari-jemari yang kasar dan keras karena tercelup ke dalam adonan kehidupan pedesaan yang keras tetapi sahaja. Rambutnya mengingatkan masa kecil saya, di saat saya mengulur-ulur benang layangan di atas hamparan ladang kosong yang hanya dipenuhi oleh lalang-lalang yang sedang berbunga.

Bibirnya yang gemetar itu mengingatkan saya pada sebuah ketakutan di tengah-tengah suatu keterpaksaan. Seperti orang kebelet.

“Mohon. Saya mohon pohon cempaka putih itu jangan ditebang. Saya mohon, Pak Kepala Desa,” dia menghiba di depan saya. Saya diam. Saya pandangi saja dia. Saya menunggu dan membiarkan dia mengeluarkan segala yang hendak diucapkannya.

“Pohon cempaka putih itu adalah satu-satunya milik desa ini yang hasilnya dapat dinikmati bersama-sama oleh penduduk. Setiap hari-hari suci, atau setiap hendak melaksanakan upacara, mereka pasti mencari bunga itu. Anak-anak dan gadis-gadis remaja yang akan bersembahyang atau sehabis mengeramasi rambutnya, selalu pula mencari bunga itu. Setiap orang seakan merasa ada sesuatu yang kurang tanpa bunga cempaka itu. Entahlah, Pak Kepala Desa, pokoknya selama puluhan tahun saya dapat merasakan bahwa kesatuan dan kerukunan orang-orang di desa ini terwujud di bawah pohon cempaka putih itu. Oh, saya kira Bapak Kepala Desa telah tahu dan paham benar serta telah ikut pula merasakan hal itu. Bukankah Bapak selama ini telah melihat, bahwa setelah anak-anak muda pulang berlibur dari tempat kerja atau sekolah mereka di kota atau di luar pulau ini ketika hari raya tiba, mereka datang beramai-ramai ke pohon cempaka putih itu? Lalu sambil memetik bunganya, di bawah pohon cempaka putih itu pula mereka saling melepas rindu. Mereka bercanda atau bercerita setelah sekian lama tak saling bertemu. Bahkan banyak anak-anak muda desa ini yang mengikat cinta dan kasihnya di bawah pohon cempaka putih itu. Bukankah kita yang tua-tua selama ini telah begitu tenteram menyaksikan semua itu? Oh, rasanya tidak mungkin kehidupan di desa ini bisa bercahaya tanpa pohon cempaka putih itu. Sungguh. Sekali lagi saya mohon, Pak Kepala Desa, saya mohon jangan ditebang.”

Orang tua itu menarik nafas. Sekarang matanya terpejam. Dan dia menyandarkan kepalanya dengan lunglai di sandaran kursi tempat dia duduk.

Saya masih diam. Sementara keringat mulai melembabkan leher kemeja dinas saya. Saya perhatikan sekujur tubuh tua itu dengan lebih seksama. Saya nikmati gerak nafas yang kian kembang kempis ketika dia dengan agak kesulitan meredakan batuk yang tiba-tiba menyerangnya. Dan ini semakin mengingatkan saya pada kerbau ringkih yang menapaki jalan licin dan menanjak. Sementara sang sais dengan suara parau memukul-mukulkan ujung cemetinya dari atas gerobak yang berkreat-kreot. Di atas, matahari seperti hendak melelehkan daun-daun dan segala pepohonan.

Saya sodorkan gelas teh saya yang belum sempat saya minum. Tapi orang tua itu menolak dengan mengembangkan telapak tangan kanannya. Lalu tangan itu menekan dadanya. Saya menyulut sebatang rokok.

Sementara di ruang sebelah, para staf saya sibuk dengan suara-suara mesin ketiknya yang kacau. Sibuk dengan obrolan-obrolan dan kelakar bersama penduduk desa yang sedang mengurus pembayaran ganti rugi pembebasan tanahnya. Suara mereka ribut. Mendengung bagai suara lebah mencari sarang.

“Setelah dapat uang ini, bapak mau beli apa?” Kepala Urusan Pembangunan yang ruangannya persis di sebelah kanan ruangan saya terdengar bertanya entah kepada siapa.

“Tidak tahu pak, utang saya banyak. Paling-paling habis di situ.”

“Kenapa banyak utang?”

“Yah namanya petani kecil begini, Pak. Hasil kebun saja tidak cukup dimakan. Apalagi anak saya banyak. Mana beli pakaiannya. Mana bayar biaya sekolahnya. Payah, Pak.”

“Bapak tidak ikut KB?”

“Wah terlambat, Pak. Ha ha ha…, dan zaman-zaman pengantenan saya dulu belum ada KB seperti sekarang. Hahaha…”

“O, ya ya saya lupa hahaha…. Nah, kalau bapak yang ini, mau diapakan nanti uangnya?”

“Hmmm… rencananya saya mau simpan di bank, Pak. Tapi anak-anak minta beli TV baru. Istri saya nyuruh beli motor biar bisa dipakai ngojek. Yah, masih bingung saya.”

“Hahaha…, jangan lama-lama bingungnya lho, Pak. Berbahaya. Hahaha….”

“Ah, bapak ini ada-ada saja….”

Di sebelahnya lagi, di ruang Kepala Urusan Keuangan, obrolan yang sama juga tak kalah ramainya.

“Mau diapakan nanti uangnya, bu?”

“Saya mau buka warung saja, Pak. Saya tidak kuat kerja yang lain. Sejak suami saya meninggal, kebun itu saya suruh orang lain mengerjakannya. Bagi hasil begitu.”

“Apa selama ini hasilnya cukup?”

“Ya dicukup-cukupkan, Pak. Habis mau bagaimana lagi? Anak-anak saya masih kecil-kecil. Belum bisa menggantikan ayahnya untuk mengerjakan kebun.”

“Sekarang bagaimana perasaan ibu?”

“Aduh, bagaimana ya? Sebenarnya sayang juga kebun itu saya lepas. Rasanya ada dosa sama almarhum suami saya. Dulu kebun itu kami beli dengan tabungan kami sejak masih pengantin baru. Tapi bagaimana ya? Orang katanya ini demi kepentingan orang banyak, yah, saya iklas saja.”

Obrolan-obrolan seperti itu berlangsung terus. Sambung-menyambung Ribut. Bagai suara lebah madu mencari sarang. Mendengung di setiap sudut kantor saya.

Saya mengisap rokok sedalam-dalamnya. Gumpalan asap yang keruh itu terasa mendesak di dada. Menekan sampai ke rusuk-rusuk. Nyaris saya tersedak. Lalu rokok itu saya kucekkan di asbak.

Kembali saya pandangi kedua mata cekung itu. Saya mencoba mencari sesuatu di sana. Sesuatu yang dapat dijadikan kekuatan untuk membantu bibir saya mengucapkan sebuah jawaban. Kami jadi saling pandang. Saya lihat bibir bawah mata cekung itu bergetar. Tapi saya pandangi terus. Sampai kekuatan itu saya dapatkan dan berkumpul di ubun-ubun saya. Menjalar ke pipi saya, lalu ke mulut saya. Kemudian akhirnya meletus dengan lirih dan saya sendiri nyaris tak mendengar suara saya. “Tidak. Pohon cempaka putih itu harus ditebang. Kalau tidak, pohon itu akan mengganggu kelancaran pembangunan proyek itu. Maaf, Pak Tua. Besok pagi kita akan menebangnya!”

Lalu orang tua itu saya tinggalkan. Saya keluar dari ruang kerja saya. Masih banyak sekali proyek yang harus ditangani lagi. Saya kekurangan waktu!

Nanoq da Kansas
Selengkapnya...

gravatar

Therapy Concert Penyanyi Sakit Jiwa

Di sebuah gedung yang dapat dikatakan tua dengan seribu jendelanya yang terbuka, sebuah terapi dilakukan Penyanyi Sakit Jiwa. Barangkali, 13 lagu musikalisasi yang dipentaskan malam itu menjadi semacam kesadaran kolektif bahwa musikalisasi puisi, termasuk puisi sebagai sentralnya, bukanlah sesuatu yang sakral. Karena tak jarang, kekayaan puisi justru terjadi, terlahir dan tercipta oleh beragamnya penafsiran demi penafsiran atas karya puisi itu sendiri.

Berikut beberapa foto dokumentasi “Therapy Concert Penyanyi Sakit Jiwa with Nanoq da Kansas” di Kampus Seribu Jendela, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, yang sempat terekam kamera:

Selengkapnya...

gravatar

Musikalisasi Puisi Kelompok Penyanyi Sakit Jiwa

Puisi yang baik menawarkan unsur musikal. Dan Nanoq da Kansas beserta Kelompok Penyanyi Sakit Jiwa menerjemahkannya lebih riang, sederhana dan membuatkan album. Hasilnya, Komposisi Seperti Angin.

SEJENAK hening, lalu lambat laun terdengar sekejap suara deru angin ditingkahi suara gemeresek. Mula-mula pelan lalu mengeras, kemudian petikan gitar menikahi suara gemeresek itu. Gesekan biola pun menyeruak untuk akhirnya membangun irama yang mengiringi lirik lagu yang berasal dari puisi karya Nanoq da Kansas berjudul Seperti Angin:

seperti angin
kuingin bernyanyi ke setiap hati yang terluka
seperti angin
kuingin menyapa ke setiap luka yang kan datang
seperti teratai ku ingin tengadah

berdiri di atas lumpur
menjadi warna dunia

semesta mengajakku berdoa
semesta membawaku ke ibu
seperti angin aku ingin mengisi dunia

Puisi Nanoq da Kansas yang dikutip utuh ini menjadi pilihan untuk judul musikalisasi puisi Komposisi Seperti Angin yang mulai dipasarkan dalam bentuk kaset sejak pertengahan Mei 2007 lalu. Nanoq da Kansas bersama Kelompok Penyanyi Sakit Jiwa yang selama ini tekun melakukan upaya musikalisasi dan disumbangkan ke dalam berbagai acara itu akhirnya mewujudkan impiannya; mengalbumkan aktivitas sajak musik ke dalam album musikalisasi Komposisi Seperti Angin ini.

“Upaya untuk membuat album musikalisasi puisi ini memang cita-cita lama kami. Syukurlah akhirnya itu terwujud sekarang,” ungkap Nanoq da Kansas saat melakukan rekaman. Ia berharap album ini dapat menambah khasanah kegiatan berkesenian, terutama musikalisasi puisi yang belum banyak dibuatkan rekamannya. Belakangan ini memang menggeliat kegiatan musikalisasi di Bali, dan pernah dilombakan oleh sebuah stasiun TV lokal di Bali. Komposisi Seperti Angin ini salah satu kumpulan musikalisasi yang dialbumkan dalam bentuk kaset.

Dengan dibangun dari dukungan alat musik sederhana seperti gitar, biola dan perkusi, Komposisi Seperti Angin menawarkan suatu musik sederhana dengan puisi sebagai kekuatan lirik. Karena musikalisasi berasal dari puisi yang dimusikkan, maka kekuatan puisi sebagai lirik jelas menjadi dominasi. Sekurangnya, ia sangat dipentingkan.

“Pemilihan puisi sangat menjadi pertimbangan dalam pembuatan Komposisi Seperti Angin ini,” ujar Nanoq da Kansas. Aspek irama, penghayatan dan pemahaman puisi yang tidak terlalu jelimet adalah faktor rujukan untuk musikalisasi ini.

Ada sejumlah puisi yang dimusikalisasi dalam bentuk album Komposisi Seperti Angin ini. Selain karya Nanoq da Kansas, juga karya puisi Issayudhi AR (Meditasi), Nyoman Tusthy Edi (Dialog Menjelang Malam), Sapardi Djoko Damono (Aku Ingin), Agung Putra Khan (Kota Maksiat). Puisi-puisi tersebut secara diktif dan pemahaman memang relatif mudah dimaknai, dinikmati, dihayati dan dilagukan. Sekadar contoh adalah penyair senior seperti karya Sapardi Djoko Damono:

AKU INGIN

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada

Atau lihat pula pilihan puisi karya Nyoman Tusthy Edy yang dibangun dari diksi sederhana:

DIALOG MENJELANG MALAM

kau tahu kemarau panjang
akan segera tiba
tiap malam kudengar jerit
angin dari jendela ini
seperti suara di dermaga jantungku
gemuruh bertalu rindu

…………………

SEBUAH puisi yang baik telah mengandung unsur musikal. Sementara proses pemusikannya hanyalah lebih menegaskan bangunan irama tersebut. Atau, sebuah puisi sesungguhnyalah juga menawarkan tafsir musikalnya. “Bagi saya, musikalisasi itu adalah upaya sinergi. Ia menjadi bangunan baru dalam irama, lirik, musik, kecuali memang ada yang kita pentingkan, misalnya mendominankan puisinya,” komentar Tan Lioe Ie. Penyair yang kerap memusikalisasi puisi Umbu Landu Paranggi ini juga mengingatkan, penggunaan alat musik juga bisa menenggelamkan puisi.

Musikalisasi puisi, menurut Tan Lioe Ie, adalah salah satu ekspresi untuk mengapresiasi puisi dan sah saja misalnya kemudian ia dibangunan sinergi baru dalam upaya pengekspresian itu. “Hanya yang menjadi pertimbangan adalah, jenis musik dan spirit puisi yang tepat untuk membuat musikalisasi itu menjadi bagus,” komentarnya.

MUSIKALISASI Komposisi Seperti Angin memang terdengar menyinergikan unsur musik dan puisi. Lebih dari itu, ia akan menjadi sepenuhnya komunikasi musikal antara musikalisasi puisi itu dengan pendengarnya. Dan inilah yang dipersembahkan Nanoq da Kansas dan Kelompok Penyanyi Sakit Jiwa.
Selengkapnya...